UKT atau Uang Kuliah Tinggal menjadi perdebatan hangat di dunia pendidikan. Besarannya yang semakin tahun semakin tinggi menuai kontroversi. Lantas, bagaimana sejarah UKT di Indonesia?
UKT sendiri pertama ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2013. Melalui Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013, UKT ditetapkan di PTN-PTN Indonesia.
Lahirnya UKT Tahun 2013
Pada Permendikbud tersebut, UKT diartikan sebagai sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung oleh setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Untuk mendapat UKT per mahasiswa, Kemendikbud mengenalkan BKT.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biaya Kuliah Tunggal (BKT) adalah keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi di PTN. Kemudian UKT ditetapkan berdasarkan BKT dikurangi biaya yang ditanggung oleh pemerintah.
Melalui Permen ini, Kemendikbud juga menegaskan agar PTN tidak boleh memungut uang pangkal dan pungutan lain dari mahasiswa Sarjana dan Diploma reguler.
Protes dari Mahasiswa
Usai turunnya Permendikbud Tahun 2013, puluhan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga melayangkan keluhan. Setelah membakar ban bekas dan berorasi, puluhan mahasiswa masuk kampus dan melanjutkan aksi di dalam gedung.
"Pemberlakuan UKT hanya akan memberatkan mahasiswa tidak mampu. Ini bentuk komersialisasi pendidikan. Pelaksanaan UKT juga rentan terjadinya pungli di kampus," kata korlap aksi, Fauzan Adhim pada 2013 silam dalam arsip detikcom.
Turunnya Permenristekdikti 2015
Kemendikbudristek kembali menerbitkan kebijakan UKT melalui Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015. Sekilas, tidak ada perubahan dari aturan tahun 2013.
Namun, Permenristekdikti tahun 2015 mulai menegaskan terkait UKT yang diberikan kepada penerima bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa miskin dan berprestasi (bidikmisi). Adapun bantuan tersebut dikenakan Rp 2,4 juta dan dibayarkan oleh Kemenristekdikti kepada PTN terkait.
Permenristekdikti 2017 hingga 2020
Perubahan UKT terus berganti. Kemendikbudristek mulai menurunkan Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2016, Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2017, dan Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020. Meski aturan yang ditetapkan cenderung serupa, pemerintah mulai menetapkan tarif minimum UKT Kelompok I sebesar Rp 500 ribu.
Kemudian UKT Kelompok II sebesar Rp 501 ribu hingga Rp 1 juta. Biaya tersebut bergantung pada kemampuan ekonomi mahasiswa dan bisa meminta keringanan.
Mengapa UKT Semakin Mahal?
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie menjelaskan alasan UKT naik karena biaya operasional yang ditanggung oleh PTN. Biaya itu meliputi alat tulis kantor (ATK) hingga upah bagi dosen non-pegawai negeri sipil (PNS).
"Biaya perkuliahan itu, kan, pasti butuh ATK, butuh kemudian LCD, ada pemeliharaan, kemudian dosennya, kan, mesti harus dikasih minum, harus kemudian dibayar. Memangnya dosen gratis?" ujar Tjitjik dalam CNN Indonesia dikutip Minggu (19/5/2024).
Biaya perkuliahan juga meliputi biaya untuk kegiatan praktikum yang akan berbeda antar prodi.
"Bahan habis setiap kelompok praktikum, kan, berbeda-beda. Topik praktikumnya itu, kan, berbeda. Kan, banyak. Ini, kan, yang kita masuk dengan biaya operasional," lanjutnya.
Biaya-biaya operasional lain yang termasuk dalam biaya kuliah yakni biaya ujian, tugas akhir, hingga skripsi.
(nir/faz)